BERBAGI ILMU YANG BERMANFAAT

Sunday, March 19, 2017

Mirisnya Kondisi Budaya Malu Bugis-Makassar

A. RASIONAL TEORETIK

  Secara filosofis, rasa malu dibedakan dalam dua ranah, yakni rasa malu moral (moral shame) dan rasa malu kognitif (cognitive shame). Dalam konteks pemikiran Aristoteles (Nicomachean Ethics, Book IV. Moral Virtue, Chapter 9), rasa malu moral dilihat sebagai kegagalan dalam membentuk diri menjadi pribadi yang berkeutamaan. Demikianlah, rasa malu moral bukanlah sebuah karakter atau watak, tetapi lebih sebagai sebuah perasaan (rasa bersalah, rasa dilecehkan dan tidak dihormati, dan sebagainya) yang terus akan menguasai hidup seseorang yang gagal menjadi manusia bermoral. Rasa malu moral lebih berhubungan dengan perasaan kegagalan, rasa sakit atau rasa terganggu karena gagal membentuk diri sebagai pribadi berkeutamaan.
    Ada 2 jenis rasa malu, yaitu rasa malu yang terkait dengan kehinaan dengan kehinaan seseorang (disgrace shame) dan rasa malu yang terkait dengan kesopanan (discretionary shame). Kedua jenis rasa malu ini tidak bisa dipisahkan dari pengalaman manusia, tetapi pada dunia nyata ini keasyikan dengan disgrace shame telah menyebabkan discretionary shame terlupakan.
   Discretionary shame memiliki fungsi positif untuk menjamin adanya kesopanan, privasi, kesusilaan dan kebijaksanaan. Fungsinya ialah untuk menetapkan batasan-batasan yang tepat untuk mencegah invasi atau penyerbuan yang melanggar kehormatan dan integritas orang lain. Discretionary shame dihubungkan dengan kesopanan yang mengandung komponen etika. Discretionary shame menetapkan bahwa segala bentuk “mempertontonkan sesuatu yang tidak senonoh di depan umum” merupakan suatu pelanggaran terhadap kontrak sosial dan moral yang berlaku dimasyarakat kita.
   Jika melihat realitas kehidupan di Indonesia saat ini, ternyata rasa malu juga menjadi barang langka di negeri ini. Rasa malu tidak hanya terkikis bahkan habis pada semua level masyarakat Indonesia. Malu merupakan identitas budaya timur, sekaligus sifat asasi dari manusia. Rasa malu itulah yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya.  Namun dalam konteks ini adalah, malu dalam kerangka pendekatan budaya yang bermakna positif. Bahwa rasa malu sudah menjadi karakter pada masyarakat, dan rasa malu mempengaruhi pola hidup masyarakat itu sendiri sehingga menjadi suatu budaya. Baik dalam individu seorang, kelompok dengan kelompok, apalagi seorang pemimpin terhadap masyarakat yang dipimpinnya.

 
 Kondisi budaya malu di dalam dunia pendidikan saat ini sangat miris. Banyak pelanggaran antara pendidik dan peserta didik yang sudah merusak moral pendidikan di Indonesia. Jika kita liat kondisi pendidikan sekarang ini di mana budaya malu mulai semakin hilang dalam lingkungan sekolah, hal – hal yang sebelumnya merupakan hal yang sangat tabu dan memalukan telah menjadi hal yang sangat banyak terjadi atau hal yang biasa, peserta didik berani memukul pendidik, pendidik yang berani melakukan pelecehan kepada peserta didiknya, pemakaian narkoba, tawuran, pencurian, bahkan pembunuhan yang melibatkan para pelajar di negeri kita saat ini. Tidak sedikit diantara mereka yang mempunyai tingkat pendidikan yang baik, berasal dari keluarga yang berkecukupan.
    Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap anak. Terlebih lagi untuk masyarakat di Camba. Para orang tua sangat mendukung anaknya untuk bersekolah hingga perpendidikan tinggi meskipun harus menjual barang-barang maupun sawahnya. Ini dibuktikan dengan semakin banyaknya jumlah PNS di Camba. Banyak juga lulusan-lulusan SMA yang telah menyelesaikan studinya di perpendidikan tinggi dan pulang dengan kesuksesan.
    Namun, masalah yang tadi saya penulis ungkapkan dengan berkurangnya rasa hormat kepada orang tua menunjukkan para peserta didik sudah kehilangan rasa malunya. Mereka tidak menyadari betapa kerasnya perjuangan orang tua agar anaknya bisa ke sekolah. Jika peserta didik hanya membuang-buang uang dan tidak mengerjakan amanah orang tua, maka orang tua mereka pasti akan merasa sangat sedih. Mereka merasa kurang bertangung jawab atas masa depan mereka. Selain itu, rasa malu dengan tidak menyekolahkan anak dengan baik akan timbul dan menjadi bahan pembicaraan masyarakat.
    Tidak hanya kepada orang tua, rasa malu yang memudar juga berlaku kepada pendidik mereka. Para anak sudah tidak mau mendengarkan pendidiknya. Seperti saat mereka melakukan hal-hal yang salah, mereka justru melawan. Padahal niat pendidik adalah mendidik agar mereka menjadi lebih baik moralnya. Di dalam ruang kelas pun peserta didik sudah malas belajar, mereka tidak menghargai pendidiknya yang menyampaikan ilmu. Mereka sering bermain di bangku belakang dan menunjukkan perilaku yang kurang sopan. Ini yang menjadi beban pendidik karena minat belajar khususnya tujuan belajar peserta didik sudah mulai berkurang. Sehingga pendidik harus mempunyai cara agar peserta didik dapat memperbaiki niatnya untuk menuntut ilmu dan memperbaiki moralnya untuk selalu menghormati yang termasuk dalam nilai kearifan lokal "siri".
   Siri’ ripakasiri’ berfungsi sebagai serangan dan pembelaan orang Bugis terhadap rasa malu yang diterimanya. Bahkan untuk mempertahankan rasa malunya, orang Bugis lebih suka mati berperang daripada hidup dan menanggung ‘ripakasiri’. Sama dengan orang Camba, yang akan malu jika tidak menuntut ilmu. Penanaman nilai siri’ akan mempunyai daya dorong bagi peserta didik untuk menghormati orang lain dan bekerja keras dengan tidak bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan maupun sosial.
Berdasarkan latar belakang tersebut pendidik merancang suatu model pembelajaran yang menuntut semua peserta didik untuk berpartisipasi. Tuntutan ini dilakukan agar mereka tahu peran maupun tugas yang mereka kerjakan. Misalkan, pemberian tugas untuk mencari gejala alam yang erat dengan keseharian yang menerapkan Hukum Newton. Menurut aliran Behaviorisme, pengaruh lingkungan (pendidikan) belajar, pengalaman sangat menentukan perkembangan seseorang. Setiap peserta didik diberi tugas mengobservasi di lingkungan sekolah atau berdasarkan pengalamannya. Menurut teori humanistik, ada dua bagian belajar yaitu perolehan informasi baru, dan personalisasi individual dari informasi tersebut. Memberikan kepada peserta didik-peserta didik suatu peranan yang penting dalam menentukan tuuan sendiridan menentukan kapan mereka mau berbuat menurut tugas tertentu.
   Kemudian, setelah kembali dari observasi, dia akan melaporkan apa yang telah diperolehnya satu per satu di depan kelas. Sesuai teori Humanistik, peserta didik juga harus berpartisipasi dalam mengevaluasi kemanjuan sendiri selama mereka berada dalam posisi yang terbaik untuk menentukan apa yang telah mereka pelajari. Jadi, mereka yang tidak mengerjakan tugasnya atau tidak melaporkan apa-apa akan merasa malu di depan teman-temannya. Sesuai teori Alvin C. Eurich (1962), bila murid diberi tanggung jawab untuk mempelajari sendiri, ia lebih terdorong untuk belajar, ia akan belajar dan menigngat lebih baik. Kemudian akan memberikan penguatan atau perbaikan terhadap yang dijelaskannya mengenai Hukum Newton. Sesuai teori Alvin C. Eurich (1962), seorang murid belajar lebih banyak kalau setiap langkah segera diberi penguatan. Hal ini dapat menanamkan nilai siri’ sedikit demi sedikit. Sehingga nantinya setelah beberapa kali pertemuan, mereka akan selalu mengerjakan tugasnya karena malu jika dipanggil pemalas oleh teman-temannya.

B.KEARIFAN LOKAL
  Masyarakat bugis memiliki sebuah kebudayaan Siri’ Na Passe, kata Siri’, dalam bahasa Makassar atau Bugis, bermakna “malu”. Sedangkan Pacce (Bugis: Pesse) dapat berarti “tidak tega” atau “kasihan” atau “iba”. Struktur Siri’ dalam Budaya Bugis atau Makassar mempunyai empat kategori, yaitu (1) Siri’ Ripakasiri’(harga diri pribadi, serta harga diri atau harkat dan martabat keluarga), (2) Siri’    Mappakasiri’siri’(yang berkaitan dengan etos kerja), (3) Siri’ Tappela’ Siri (Bugis: Teddeng Siri’)( rasa malu seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal), dan (4) Siri’ Mate Siri’(yang berkaitan dengan iman). Kemudian, guna melengkapi keempat struktur Siri’ tersebut maka Pacce atau Pesse menduduki satu tempat, sehingga membentuk suatu budaya (karakter) yang dikenal dengan sebutan Siri’ Na Pacce. Budaya Siri' Na Pacce merupakan salah satu falsafah budaya Masyarakat Bugis yang harus dijunjung tinggi. Bagi masyarakat Bugis, siri' mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga dan mempertahankan diri dan kehormatannya.
   Siri' adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, siri' adalah sesuatu yang 'tabu' bagi masyarakat Bugis dalam berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan, pacce mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial tanpa mementingkan diri sendiri dan golongan inil adalah salah satu konsep yang membuat suku Bugis mampu bertahan dan disegani diperantauan, pacce merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, kalau istilah dalam bahasa Indonesia "Ringan sama dijinjing berat sama dipikul". Tetapi sangat disayangka saat ini budaya trsebut sudah sangat memudar saat ini di daerah bugis terlebih dikalangan remaja saat ini, hal tersebut terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya budaya siri’ tersebut. Hal tersebut terjadi karena masuknya budaya-budaya dari luar yang mempengaruhi kehidupan remaja dan melupakan kebudayaan mereka sendiri.

C. KAITAN DENGAN FISIKA
1. KI.1 (Sikap Spiritual)
    Kompetensi inti sikap spiritual terkait erat hubungan kita dengan sang pencipta. Allah menciptakan bumi beserta isinya dengan kekuatannya yang maha dahsyat, termasuk menciptakan kita sebagai hambanya. Hal inilah yang membuat kita harusnya selalu taat dengan ajarannya beserta senantiasa bersyukur atas apa yang diberikan kepada kita. Sebagai hamba harusnya kita memiliki rasa malu jika melanggar atau tidak mengerjakan perintahnya begitupun sebaliknya malulah kita apabila mengerjakan apa yang dilarang oleh-Nya.
    Malu kepada Allah adalah jalan untuk menegakkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Karena jika seorang hamba takut kepada Allah, tentunya ia tidak akan menolak ketaatan dan tidak pula mendekati kemaksiatan. Oleh karena itulah malu merupakan sebagian dari iman.
Nabi shollallahu’alaihi wassallam bersabda, “Iman itu memiliki tujuh puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan laa ilaaha illallah (tiada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu termasuk salah satu cabang iman.” Tetapi saat ini rasa malu terhadap Allah-pun seakan luntur dikalangan ummat manusia diantaranya hilangnya rasa malu terhadap Allah dengan melanggar aturan-aturan-Nya.
    Fisika terkait erat dengan fenomena alam yang ada disekitar kita. Mulai dari hal yang paling kecil sampai yang paling besar, mulai dari elektron sampai luar angkasa merupakan cakupan dari ilmu fisika. Dalam fisika telah dipelajari sesuatu yang terkecil bahkan yang tidak tampak sekalipun sampai di luar angkasa yang hanya menjadi imajinasi jika kita mempelajarinya. Setelah mempelajari semua itu seharusnya rasa malu pada Allah tumbuh pada diri manusia yang tidak mengakui adanya Allah. Dan merenungi bahwa siapakah yang menciptakan benda-benda tersebut mulai dari yang terbesar sampai yang tak kasat mata pun kalau bukan Allah SWT pencipta seluruh alam.
2. KI.2 (Sikap Sosial)
    Kompetensi sikap sosial terkait erat dengan kehidupan bermasyarakat (sosial), bagaimana interaksi kita dengan sesama, baik antar individu maupun kelompok. Dalam kehidupan sosial setidaknya kita harus memiliki rasa malu. Budaya siri (rasa malu) sangat penting, akan tetapi saat ini hal tersebut seakan tidak ada lagi dalam diri setiap orang. Dalam masyarakat bugis sikap a’bulo sibatang, sikatau, sipakalebbi dan sipakainge sangat kental dalam kehidupan masyarakatnya tapi sayangnya saat ini sikap tersebut seakan menghilang. Kerja sama antar sesama seakan luntur dengan kata lain  sikap individualisme lahir begitu saja dalam masyarakat saat ini, selain itu interaksi antar sesamapun seakan tak ada aturannya dan tak menghargai satu sama lain bahkan saling mempermalukan sesamanya.
     Manusia harusnya malu pada hewan yang seakan saling menghargai satu sama lain, misalkan semut yang selalu berjalan beriringan tidak pernah saling mendahului saat berjalan begitupun pada bebek yang selalu berada dalm kelompoknya. Hal ini dapat menjadi pelajaran bagi kita sebagai manusia yang merupakan makhluk sosial agar memiliki rasa malu saat budaya sosial itu sudah tidak ada lagi dala diri kita.
     Pembelajaran fisika telah mengajarkan kita bagaimana kerja sama yang baik, menghargai pendapat teman, saling melengkapi dalam kelompok pada saat melakukan praktikum. Tetapi hal tersebut seakan berlalu begitu saja tanpa ada sedikitpun pengaplikasian dalam kehidupan sosial. Seharusnya sebagaimana manusia malu akan pada hal-hal yang telah dipelajari tetapi tidak diterapkan dalam kehidupan sosial.
3. KI.3 (Pengetahuan)
   Kompetensi inti pengetahuan terkait dengan kognitif seseorang. Hal ini berkaitan dengan ilmu yang diperoleh selama menuntut ilmu baik di bangku sekolah maupun perguruan tinggi ataupun di tempat lain. Sesorang berlomba-lomba memperoleh nilai tinggi dengan melakukan berbagai cara, baik secara sehat maupun dengan cara curang. Semuanya ditempuh tanpa peduli bagaimana dampaknya terhadap dirinya maupun orang lain.
    Peserta didik saat ini seakan tidak malu dalam melakukan plagiat, mencontek saat ujian serta pada saat mengerjakan tugas yang diberikan oleh pendidik. Budaya menyontek pun seakan tidak ada habisnya dikalangan pelajar, peserta didik tidak memiliki rasa percaya diri untuk mengerjakan sendiri, serta tidak mengandalkan diri sendiri dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang sebelumnya sudah dipelajari. Seharusnya kita malu pada materi-materi atau ilmu pengetahuan yang telah dipelajari, malu pada diri sendiri karena seakan tidak mengandalkan diri sendiri dalam menyelesaikan tes yang berkaitan dengan materi-materi yang telah dipelajari.
4. KI.4 (Keterampilan)
   Kompetensi inti ini terkait dengan keterampilan kita menerapkan ilmu yang telah diperoleh. Misalnya menciptakan sebuah karya-karya. Setiap karya memiliki hak cipta yang memiliki hukum dan aturan di dalamnya. Sekarang ini, banyak terjadi pelanggaran hak cipta pada suatu karya. Ini merupakan sebuah pelanggaran yang tercipta karena tidak adanya rasa malu mengambil hak/milik orang lain.
    Hal ini bisa terjadi pula pada saat praktikum fisika, kebiasaan mengubah data pada saat praktikum seakan tidak ada habisnya jika peserta didik merasa tidak puas dengan hasil yang diperoleh dalam praktikum, harusnya mereka sadar bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tak semestinya ada. Harusnya kita malu pada data-data asli yang diperoleh dibandingkan dengan data hasil rekayasa. Beban moril pasti akan senantiasa menghantui kita apabila kita melakukan suatu pelanggaran, sehingga harunya kita malu pada diri kita sendiri yang melakukan suatu pelanggaran.
    Ilmu pengetahuan yang kita peroleh harusnya mampu kit terapkan dalam kehidupan. Apabila kita tidak dapat mengaplikasikan materi yang telah dipelajari, maka pasti akan ada rasa malu pada diri kita yang sudah bersusah payah mempelajari setiap materi pelajaran akan tetapi tidak tau bagaimana mengaplikasikannya. Hal ini sama saja jika kita melakukan hal yang sia-sia, buat apa kita mempelajari semuanya jika kita tidak tau mau diapakan ilmu tersebut. Malulah pada diri sendiri karena tidak bisa menerapkan ilmu yang diperoleh. Dalam fisika begitu banyak pengaplikasian teori yang sudah dipelajari serta sudah begitu banyak karya-karya yang lahir dari teori fisika. Fisika tidak lepas dari kehidupan kita sehari-hari, misalnya kita telah belajar jarak, kecepatan, percepatan, serta waktu. Akan tetapi, kita masih terlambat ke sekolah, maka harusnya kita malu sebagai anak fisika, karena tidak mampu memperhitungkan antara jarak dengan waktu tempuh, antara kecepatan kita dengan waktu tempuh maupun jarak tempuh kita ke sekolah.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Rasa Malu. http://rumahfilsafat.com/2011/10/11/rasa-malu/

Anonim. Siri na Pacce Dalam Nilai dan Falsafah Hidup Orang Bugis-Makassar. http://bugismakassartrip.com/siri-na-pacce-dalam-nilai-dan-falsafah-hidup-orang-bugis-makassar.html

H. Albers, Robert. 1995. Malu Sebuah Perspektif Iman. Jakarta: Kanisius




Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Mirisnya Kondisi Budaya Malu Bugis-Makassar

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan berikan Komentar terbaik mu, boleh cantumkan link blog anda asalkan sesuai dengan topik materi